【Dunia Kripto】7 Desember, sebuah fenomena menarik sedang menyebar di kalangan anak muda Amerika: karena tidak mampu membeli rumah, mereka memilih untuk tidak menabung sama sekali dan langsung all-in ke aset kripto. Ini bukan sekadar candaan, melainkan tren yang didukung oleh data.
Saat rasio harga rumah terhadap pendapatan benar-benar tidak seimbang, logika ekonomi generasi Z mengalami perubahan mendasar. Kaum muda yang sudah lama menyerah pada impian memiliki rumah menunjukkan tiga pola perilaku yang jelas: keinginan menabung turun drastis, motivasi kerja terus menurun, dan semakin sering mengalokasikan dana ke aset berisiko tinggi—kripto menjadi pilihan utama.
Mekanisme psikologis di baliknya sebenarnya cukup sederhana: jika menabung selama sepuluh tahun pun tetap tidak bisa membeli rumah, mengapa tidak menggunakan uang itu untuk mencoba peluang melipatgandakan kekayaan secara cepat? Dibandingkan dengan rekan seumuran yang masih percaya bahwa “kerja keras bisa membeli rumah”, kelompok pertama sudah sepenuhnya beralih pada preferensi waktu untuk imbal hasil instan—setidaknya fluktuasi pasar spekulatif bisa memberi mereka rasa keterlibatan dan stimulasi jangka pendek.
Ada yang menyebut keadaan ini sebagai “nihilisme ekonomi”, namun pada dasarnya ini adalah hasil dari runtuhnya mekanisme insentif. Ketika tujuan terasa mustahil dicapai, orang akan secara alami mengalokasikan ulang sumber daya mereka. Pertanyaannya, apakah pergeseran ini benar-benar bisa mengubah sesuatu?
Untuk membalikkan tren ini, sekadar mengimbau kaum muda “belajar mengelola keuangan” tidak cukup. Kebijakan publik harus lebih dulu bergerak: melonggarkan pembatasan pembangunan, mendorong pembangunan perumahan terjangkau, mengoptimalkan regulasi penggunaan lahan—biarkan anak muda melihat kemungkinan untuk membeli rumah, baru insentif bisa bekerja kembali. Di saat yang sama, meningkatkan kemampuan mereka dalam mengelola anggaran, menilai risiko, dan menabung jangka panjang juga sangat penting, karena tidak semua orang sanggup menghadapi volatilitas pasar kripto.
Lihat Asli
Halaman ini mungkin berisi konten pihak ketiga, yang disediakan untuk tujuan informasi saja (bukan pernyataan/jaminan) dan tidak boleh dianggap sebagai dukungan terhadap pandangannya oleh Gate, atau sebagai nasihat keuangan atau profesional. Lihat Penafian untuk detailnya.
15 Suka
Hadiah
15
5
Posting ulang
Bagikan
Komentar
0/400
MoonMathMagic
· 12-09 18:20
Haha, benar juga, daripada menabung sepuluh tahun tetap tidak mampu beli rumah, lebih baik all in dan coba peruntungan, toh sama-sama judi juga.
Lihat AsliBalas0
degenwhisperer
· 12-07 03:50
Daripada mati-matian menabung, lebih baik all-in saja, toh rumah juga tidak mampu beli, mending coba judi sekali untuk kesempatan mengubah nasib.
Lihat AsliBalas0
BankruptcyArtist
· 12-07 03:48
Daripada menabung sepuluh tahun tetap tidak mampu beli, lebih baik all in dan coba sekali, toh sama-sama berjudi dengan nasib.
Lihat AsliBalas0
TopBuyerBottomSeller
· 12-07 03:37
Apa yang dikatakan tentang all-in kripto memang nggak salah, daripada pasrah nunggu mati mending coba peruntungan, toh rumah juga udah nggak kebeli... Tapi logika ini memang agak nekat sih.
Lihat AsliBalas0
BuyHighSellLow
· 12-07 03:31
Menaruh semua uang rumah untuk membeli koin... Logika ini benar-benar saya mengerti, toh sudah pasrah jadi sekalian saja berjudi, sama-sama kalah tapi setidaknya sensasi di dunia kripto benar-benar maksimal.
Generasi Z yang tidak mampu membeli rumah, justru menginvestasikan seluruh tabungannya ke dalam mata uang kripto
【Dunia Kripto】7 Desember, sebuah fenomena menarik sedang menyebar di kalangan anak muda Amerika: karena tidak mampu membeli rumah, mereka memilih untuk tidak menabung sama sekali dan langsung all-in ke aset kripto. Ini bukan sekadar candaan, melainkan tren yang didukung oleh data.
Saat rasio harga rumah terhadap pendapatan benar-benar tidak seimbang, logika ekonomi generasi Z mengalami perubahan mendasar. Kaum muda yang sudah lama menyerah pada impian memiliki rumah menunjukkan tiga pola perilaku yang jelas: keinginan menabung turun drastis, motivasi kerja terus menurun, dan semakin sering mengalokasikan dana ke aset berisiko tinggi—kripto menjadi pilihan utama.
Mekanisme psikologis di baliknya sebenarnya cukup sederhana: jika menabung selama sepuluh tahun pun tetap tidak bisa membeli rumah, mengapa tidak menggunakan uang itu untuk mencoba peluang melipatgandakan kekayaan secara cepat? Dibandingkan dengan rekan seumuran yang masih percaya bahwa “kerja keras bisa membeli rumah”, kelompok pertama sudah sepenuhnya beralih pada preferensi waktu untuk imbal hasil instan—setidaknya fluktuasi pasar spekulatif bisa memberi mereka rasa keterlibatan dan stimulasi jangka pendek.
Ada yang menyebut keadaan ini sebagai “nihilisme ekonomi”, namun pada dasarnya ini adalah hasil dari runtuhnya mekanisme insentif. Ketika tujuan terasa mustahil dicapai, orang akan secara alami mengalokasikan ulang sumber daya mereka. Pertanyaannya, apakah pergeseran ini benar-benar bisa mengubah sesuatu?
Untuk membalikkan tren ini, sekadar mengimbau kaum muda “belajar mengelola keuangan” tidak cukup. Kebijakan publik harus lebih dulu bergerak: melonggarkan pembatasan pembangunan, mendorong pembangunan perumahan terjangkau, mengoptimalkan regulasi penggunaan lahan—biarkan anak muda melihat kemungkinan untuk membeli rumah, baru insentif bisa bekerja kembali. Di saat yang sama, meningkatkan kemampuan mereka dalam mengelola anggaran, menilai risiko, dan menabung jangka panjang juga sangat penting, karena tidak semua orang sanggup menghadapi volatilitas pasar kripto.